PENDIDIKAN-Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan tinggi Indonesia, suara para dosen kini semakin nyaring menuntut perhatian pemerintah. Mereka meminta upah yang layak—setidaknya Rp10 juta per bulan—untuk mengimbangi beban yang mereka pikul. Kenapa angka ini? Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkapkan bahwa pegawai di kementerian dengan pendidikan di bawah S-1 saja bisa membawa pulang gaji sebesar itu. Ketua SPK, Dhia Al Uyun, memaparkan keprihatinannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI. Mirisnya, banyak dosen yang bergelar S-2 hanya menerima gaji yang setara dengan penjaga keamanan atau bahkan pekerja bangunan.
Fakta ini disorot dalam penelitian SPK yang menemukan bahwa 61 persen dari 1.200 dosen yang disurvei hanya membawa pulang gaji di bawah Rp3 juta. Tragis, bukan? Banyak dari mereka akhirnya terpaksa menjalani pekerjaan sampingan demi menyambung hidup. Lebih dari 72 persen dari mereka mengaku kelelahan. Tak sedikit yang bahkan terjebak dalam pinjaman online, dan sayangnya, ada pula yang akhirnya terpaksa berurusan dengan masalah kesehatan mental. Para dosen ini tak hanya mengajar, tetapi juga menjalankan tugas penelitian, publikasi ilmiah, dan tugas administrasi yang semakin hari semakin menumpuk. SPK menyampaikan betapa beratnya beban ini hingga para dosen diharuskan mengunggah laporan aktivitas harian secara detail, membuat ruang untuk inovasi menjadi semakin terbatas.
Baca juga:
Peminat SNMPTN UB 2022 Sebanyak 40.094
|
Namun, di balik tuntutan ini, ada hal yang perlu diingat. Tuntutan untuk mendapatkan gaji yang layak harus seiring dengan tanggung jawab yang setimpal. Tidak sedikit dosen yang terkadang "menghilang" di saat jadwal kuliah tanpa memberi pemberitahuan atau mengganti waktu mengajar. Siapa yang menjadi korban? Tentu saja mahasiswa. Di sini, SPK juga perlu ikut andil memastikan bahwa dosen yang memperoleh gaji lebih tinggi tetap berkomitmen penuh dalam menjalankan tugasnya.
Menjadi dosen bukan hanya soal mengajar di depan kelas, tapi juga tentang pengembangan diri yang berkelanjutan. Seorang dosen idealnya terlibat dalam menulis buku, menghasilkan artikel ilmiah, dan terus memperbarui wawasan serta keterampilannya. Ini penting, karena mutu pendidikan kita bergantung pada kualitas para pendidiknya. Perjuangan untuk mendapatkan gaji yang layak memang wajar dan sah, namun dedikasi yang sepadan dengan kompensasi tersebut adalah hal yang tak boleh diabaikan.
Jadi, dilema ini tak sekadar soal angka di slip gaji. Ini tentang komitmen kolektif kita—pemerintah, mahasiswa, dan dosen—untuk membangun sistem pendidikan tinggi yang lebih baik dan bermartabat. Di satu sisi, kesejahteraan dosen memang harus diperhatikan agar mereka bisa menjalankan tugasnya dengan tenang tanpa beban finansial yang memberatkan. Namun, di sisi lain, dosen juga harus menjaga integritas profesional. Gaji yang layak perlu diimbangi dengan dedikasi yang tulus, sehingga tujuan akhir kita—pendidikan yang bermutu dan generasi penerus bangsa yang unggul—dapat tercapai.
Bandar Lampung, 6 November 2024
Hidayat Kampai