![Ketua PBH Perhakhi: Dominus Litis dalam RUU KUHAP Berpotensi Timbulkan Tumpang Tindih Penegakan Hukum](https://id1.dpi.or.id/uploads/images/2025/02/image_750x395_67b033c490f32_1.jpg)
SURABAYA – Ketua Umum Pusat Bantuan Hukum Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (PBH Perhakhi), Pitra Romadoni Nasution, mengkritik penerapan asas dominus litis dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Menurutnya, aturan tersebut berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum.
"Jika kewenangan ini diberikan kepada jaksa, maka akan muncul potensi tumpang tindih dalam penegakan hukum dan kepastian hukum, " ujar Pitra dalam keterangan di Surabaya, Sabtu (08/02/2025).
Asas dominus litis menempatkan jaksa sebagai pihak yang menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan. Pitra menilai hal ini berpotensi mengambil alih kewenangan kepolisian dalam penyelidikan dan penghentian perkara.
"Saya kira kewenangan jaksa seharusnya tetap terbatas sebagai peneliti berkas dari penyidik kepolisian dan menjalankan tugas penuntutan, " tegasnya.
Berpotensi Timbulkan Standar Ganda
Pitra menyoroti bahwa jika RUU KUHAP disahkan dengan ketentuan ini, maka akan timbul standar ganda dalam penegakan hukum. Ia khawatir hal tersebut justru akan melemahkan posisi penyidik kepolisian dalam mengungkap suatu perkara."Kewenangan jaksa sudah jelas dalam proses penuntutan sebagai pengacara negara, sementara kepolisian bertanggung jawab dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, " jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa apabila jaksa diberikan kewenangan untuk menghentikan perkara yang telah dilimpahkan oleh kepolisian, maka akan muncul dualisme dalam sistem peradilan. Akibatnya, masyarakat yang mencari keadilan bisa menghadapi ketidakpastian hukum. Menurutnya, revisi KUHAP seharusnya berfokus pada peningkatan kepastian hukum dengan mengedepankan proses yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, bukan malah menimbulkan interpretasi ganda yang bisa memicu konflik kewenangan antarinstansi penegak hukum.
Risiko Penyalahgunaan Wewenang
Selain kewenangan dalam penuntutan, Pitra juga menyoroti bahwa jaksa memiliki peran dalam pengendalian penyidikan. Ia menilai hal ini berpotensi membuka celah terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dalam proses penegakan hukum.
"Jika jaksa diberikan kewenangan lebih dalam penghentian perkara dan pengendalian penyidikan, maka ada kemungkinan besar terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang justru merugikan kepastian hukum, " tandasnya.
Pitra berharap agar pembaruan KUHAP benar-benar mempertimbangkan keseimbangan kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian, sehingga tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam penegakan hukum di Indonesia. (MIR)