JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan sejumlah tindakan korektif kepada Pemerintah terkait ketersediaan dan stabilitas harga Minyak Goreng. Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) investigasi atas prakarsa sendiri oleh Ombudsman RI menyebutkan beberapa tindakan korektif kepada Pemerintah, di antaranya ditujukan kepada Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menyampaikan fenomena kenaikan harga minyak goreng sejak bulan Agustus 2021 hingga langkanya komoditas minyak goreng pada akhir Februari 2022, menjadi dasar pihaknya untuk melaksanakan investigasi atas prakarsa sendiri.
"Sulitnya masyarakat dalam memperoleh minyak goreng mendorong Ombudsman RI untuk melakukan pemantauan awal guna mengumpulkan data primer melalui pengumpulan informasi dari 19 Kantor Perwakilan Ombudsman RI pada Februari 2022. Hasil yang diperoleh adalah data disparitas harga komoditas minyak goreng dengan rentang antara harga terendah pada Rp14.000, 00 per liter dan tertinggi pada harga Rp30.000, 00 per liter, " terang Yeka dalam acara Penyampaian LAHP Investigasi Atas Prakarsa Sendiri Ombudsman RI tentang Penyediaan dan Stabilisasi Harga Minyak Goreng, pada Selasa, (13/9/2022). Di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Berdasarkan hasil investigasi tersebut, Yeka memaparkan, dalam menangani permasalahan penyediaan dan stabilisasi harga komoditas minyak goreng, Kementerian Perdagangan telah menerbitkan setidaknya 7 Peraturan Menteri Perdagangan, 2 Keputusan Menteri Perdagangan, dan 1 Keputusan Direktur Jenderal. "Banyaknya jumlah peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, namun tidak mampu mengatasi permasalahan minyak goreng yang dihadapi dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat, " ujarnya.
Yeka melanjutkan, sejatinya Indonesia tidak pernah mengalami kekurangan stokCrude Palm Oil (CPO), permasalahannya adalah stok CPO justru dikendalikan oleh pihak swasta. Saat ini Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memiliki Dynamic Stock Komoditas Minyak Goreng (cadangan minyak goreng nasional), dengan tujuan sebagai instrumen pengendali ketika terjadi kenaikan harga terhadap komoditas minyak goreng, dengan demikian pemerintah dapat menggelontorkan stok pada saat harga minyak goreng tinggi, dan sebaliknya ketika harga turun, pemerintah dapat menyimpan stok kembali.
Ombudsman juga menyoroti, tidak efektifnya implementasi penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Ombudsman RI menemukan bahwa HET minyak goreng tidak berjalan di beberapa wilayah di Indonesia. HET minyak goreng curah tidak tercapai karena distribusi belum merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Yeka menerangkan, berdasarkan temuan di lapangan dan pendapat Ombudsman tersebut maka Ombudsman memberikan tindakan korektif kepada sejumlah kementerian/lembaga terkait. Kepada Menteri Perdagangan, Ombudsman RI meminta agar kebijakanDomestic Market Obligation (DMO) segera dicabut, dalam rangka percepatan ekspor dan penyerapan TBS yang masih berada (tersimpan) pada level petani kelapa sawit rakyat.
Selain itu, Ombudsman juga meminta agar Menteri Perdagangan melakukan reformulasi kebijakan penjaminan ketersediaan dan stabilisasi harga minyak goreng dengan mempertimbangkan beberapa hal di antaranya, tidak menimbulkan disparitas harga, tidak menerapkan HET tunggal untuk seluruh wilayah, penerapan HET diiringi dengan penugasan BUMN dalam penyaluran minyak goreng melalui pola subsidi maupun non subsidi, serta memudahkan pelaku usaha dalam rangka perolehan persetujuan ekspor.
Baca juga:
Warga Serbu Minyak Goreng di Monumen Mandala
|
Selanjutnya, Menteri Perdagangan diminta untuk segera melarang peredaran minyak goreng curah dan menggantinya dengan minyak goreng kemasan yang mengacu pada kaidah SNI.
Tak hanya itu, kepada Menteri Keuangan, Ombudsman memberikan tindakan korektif agar tidak memberlakukan Bea Keluar (BK) sampai 4 bulan ke depan, baru setelahnya dapat dilakukan evaluasi untuk mempercepat ekspor dan meningkatkan harga tandan buah segar (TBS).
Menyoal pembangunan industri pengolahan kelapa sawit berbasis UMKM di beberapa wilayah yang selama ini belum terjangkau distribusi perusahaan swasta, khususnya wilayah Indonesia bagian timur, Ombudsman meminta Menteri Perindustrian untuk menjamin fasilitasi dan melibatkanstakeholder Kementerian/ Lembaga lain.
Kepada Menteri Pertanian, Ombudsman secara tegas meminta agar dibentuk direktorat perkebunan kelapa sawit untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap perizinan usaha perkebunan.
Terakhir, Ombudsman menyampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar melakukan evaluasi terhadap kinerja dan pengelolaan dana yang dilakukan oleh BPDPKS dan meningkatkan alokasi anggaran untuk Program Perkebunan Sawit Rakyat (PSR), khususnya dalam pembiayaan peremajaan lahan PSR yang mencakup total biaya produksi danliving cost selama tiga tahun.
Yeka berharap, hasil investigasi ini dapat menjadi referensi dasar sekaligus saran perbaikan bagi Pemerintah dalam menata kebijakan penyediaan dan stabilisasi harga komoditas minyak goreng di masa-masa mendatang.
Terhadap pelaksanaan tindakan korektif, Ombudsman RI memberikan waktu selama 60 hari kerja untuk menindaklanjuti dan melaporkan setiap perkembangannya. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak diperoleh tindak lanjut dan/atau perkembangan dari para pihak, Ombudsman RI akan menerbitkan Rekomendasi akan disampaikan kepada Presiden dan DPR, yang bersifat wajib untuk dilaksanakan. (**)